Dulu,
bank syariah pernah meluncurkan produk tabungan haji. Caranya, setiap
nasabah yang sudah cukup tabungan hajinya, akan mendapatkan kursi
keberangkatan. Jadi, pihak bank—bekerja sama dengan Kementerian
Agama—berfungsi sebagai penyedia jasa pengurus haji bagi nasabah.
Untuk menjawab kebutuhan umat yang ingin menunaikan haji, namun
uangnya belum terkumpul, beberapa bank syariah mulai gencar meluncurkan
produk dana talangan haji. Yaitu dana pinjaman (al-Qardh)
kepada nasabah untuk menutupi
kekurangan dana guna memperoleh kursi haji
pada saat pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
Kemudian, nasabah berwajiban mengembalikan dana dipinjam itu dalam
jangka waktu tertentu. Sebagai jasanya, bank syariah memperoleh imbalan (ujrah)
yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan dan
tidak boleh dipersyaratkan dalam pemberian dana talangan. Dari sinilah,
kontroversi di kalangan masyarakat mulai muncul.
Pasalnya, pada tanggal 26 Juni 2002, MUI telah mengeluarkan fatwa
Nomor 29/ DSN-MUI/VI/2002 terkait dengan pembiayaan pengurusan haji oleh
Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Salah satu isinya menyebutkan bahwa LKS
dapat menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan prinsip al-Qard.
Ada yang berpendapat bahwa obyek akadnya adalah jasa pinjaman dengan
mensyaratkan tambahan imbalan. Dan setiap pinjaman yang mensyaratkan
tambahan adalah riba, meski besarnya tak didasarkan pada jumlah dana
yang dipinjamkan. Ada sebuah kaidah fikih menyebutkan, “Setiap pinjaman
yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat.» (Kullu qardhin syaratha fiihi an yazidahu fahuwa haram bighairi khilaf).
Menurut, AM. Hasan Ali, MA, Pengkaji Pusat Komunikasi Ekonomi Islam
(PKES), salah satu ulama yang tidak menghendaki adanya dana talangan
haji yaitu Quraish Shihab. Alasannya, rukun Islam kelima itu hanya wajib
ditunaikan bagi mereka yang mampu. Dengan adanya dana talangan haji,
terkesan memaksakan diri bagi mereka yang tidak mampu. Padahal, hukumnya
tidak wajib bagi yang tidak mampu.
Untuk menepis kesan terpaksa, fatwa tersebut mensyaratkan nasabah
sebagai golongan orang mampu. Dalam artian, tidak akan memberatkan
keluarganya nanti setelah pulang dari haji. “Kalau persoalannya
memaksakan diri dan dinilai tidak mampu, maka tidak boleh,” tegas Hasan
Ali, yang saat ini menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah Promitra
Finance dan juga Dosen Ekonomi Islam, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sedangkan untuk menepis kehalalan imbalan jasa (ujrah) yang diambil oleh LKS, fatwa tersebut merekomendasikan untuk merujuk pada prinsip ijarah dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 9/DSN-MUI/IV/2000 dan prinsip al-Qardh dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
Produk dana talangan haji memang memiliki sisi positif dan negatif.
Sisi positifnya, dana talangan haji memberikan unsur kemudahan. Di
samping itu, semakin banyak produk yang dikembangkan bank syariah,
semakin menarik umat Islam untuk menabung di bank syariah. Sedangkan
sisi negatifnya, dana talangan haji mengajarkan umat Islam untuk
berutang. Lebih baik menabung dulu daripada berutang.(febri/mg)
Sumber : majalahgontor.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar