Suatu ketika, tukang cukur yang sudah
tua itu jatuh sakit dan tidak dapat menjalankan tugasnya. Dengan
enggan, Alexander harus mencari tukang cukur yang lain. Tukang cukur
yang sudah tua menyarankan Wahid, seorang pelayan istana raja. Wahid
terkenal sebagai orang jujur dan bertanggung jawab. Sesungguhnya,
tukang cukur yang sudah tua itu tidak dapat memikirkan orang lain
selain Wahid yang dapat dipercaya untuk menyimpan rahasia tersebut.
Mulanya sang raja tidak mau mempekerjakan tukang cukur yang lain, namun
setelah tukang cukur tua meninggal, mau tidak mau Alexander harus
menuruti nasihat sang tukang cukur terdahulu dan mempekerjakan Wahid.
(Di samping itu rambut sang raja sudah sangat lebat.)
Pada saat Wahid memotong rambut
Alexander, saking terkejutnya melihat telinga raja yang sangat besar,
Wahid menjatuhkan guntingnya. Alexander yang tahu keterkejutan pemuda
itu menegurnya: “Jika engkau menceritakan apa yang baru kaulihat, aku
akan menarik putus lidahmu lalu memenggal kepalamu.” Wahid begidik juga
mendengar ancaman itu dan berjanji untuk menyimpan rahasia tersebut,
tetapi dia sangat ketakutan sehingga sepanjang sore itu dan
berhari-hari setelahnya dia hanya memikirkan kepalanya yang sudah
dipenggal menggelinding ke atas tanah.
{jcomments on}
Saking takutnya Wahid terhadap ancaman
raja, Wahid jarang berbincang-bincang dengan orang lain karena takut
terselip lidah. Meski begitu, Wahid merasa terbebani, dia perlu berbagi
itu rahasia itu dengan orang lain. Menyimpan rahasia seorang diri
sangatlah sulit. Wahid tahu betul bahwa satu-satunya cara agar dia
dapat kembali bernapas dengan lega adalah dengan menceritakan rahasia
mengenai telinga besarnya Alexander kepada seseorang, dan dengan begitu
terhempaslah beban itu dari dadanya. Tetapi, siapa yang dapat
dipercaya? Sekali rahasia itu diungkap, tinggal menunggu waktu sebelum
setiap orang di seluruh kota mengetahuinya, kemudian pemenggalan kepala
Wahid akan segera mengikutinya. Pada akhirnya Wahid menemukan sebuah
gagasan.
Suatu hari Wahid menyelinap keluar
istana, dan pergi menuju padang gembala yang letaknya tidak jauh dari
kota. Di sana ia menemukan sumur tempat para gembala kerap mengasoh dan
memberi minum ternaknya. Seteah memperhatikan bahwa tidak ada orang di
situ, Wahid mendekati sumur itu, memasukkan kepalanya ke dalam sumur,
lalu berteriak, “Alexander Agung bertelinga gajah.” Seketika ketenangan
dan kedamaian menghampiri diri Wahid. Dia merasa bebas dan lepas,
perasaan yang sudah lama tidak dialaminya-tepatnya sejak hari
pertamanya menjadi tukang cukur istana. Dengan perasaan riang dan puas,
Wahid kembali ke istana dan tidak legi tertekan.
Bulan demi bulan berlalu, Wahid tampak
menikmati pekerjaannya, sementara Alexander merasa puas dengan hasil
kerjanya. Sayangnya, rahasia sang raja tidak seaman perkiraan Wahid.
Setelah kedatangan Wahid, dari dalam bibir sumur itu tumbuh rumput
liar. Suatu hari, seorang gembala yang sedang menggunakan sumur itu
melihat rumput itu lalu mencabut sebatang alang-alang. Dengan membuat
beberapa lubang pada batang alang-alang tersebut, dia menciptakan
instrument musik sederhana untuk menghibur dirinya. Namun ketika dia
meniupnya, seruling buluh alang-alang itu mengeluarkan melodi yang
aneh, karena memperdengarkan kalimat, “Alexander Agung bertelinga
gajah.”
Kebetulan saat itu Alexander sedang
melewati padang tersebut, ketika dia mendengar kata-kata, “Alexander
Agung bertelinga gajah.” Dia mengikuti suara musik itu, dan sampailah
ia di tenda tempat berteduh si gembala. Di dalam tenda itu terlihat
gembala yang dengan riang memainkan seruling buluh alang-alangnya.
Karena marah, Alexander langsung menangkap dan membawa si peniup
seruling batang alang-alang tanpa penjelasan. Di istana, sang raja
menanyainya dengan sikap yang keras tentang di mana dan dari mana dia
mendengar lagu itu. Gembala yang ketakutan itu menceritakan sumur dan
alang-alang, bersumpah bahwa dia tidak tahu sama sekali mengapa
serulingnya bersuara seperti itu.
“Tidak masuk aka!” ucap sang raja
mendengar cerita tersebut. Dan dia berpikir bahwa gembala itu pasti
teman Wahid, karena hanya Wahid yang tahu rahasianya. Ketika dipanggil,
Wahid tidak punya pilihan lain kecuali mengatakan yang sebenarnya:
“Hamba bersumpah, hanya sekali itu hamba mengungkapkan rahasia paduka,
yaitu saat hamba meneriakkannya ke dalam sumur di padang gembala.”
“Engkau berteriak ke dalam sumur?” Tanya sang raja heran. “Kenapa pada sebuah sumur?”
“Karena hamba tidak kuat menahan
tekanan untuk menyimpan rahasia tersebut. Dan karena hamba tidak dapat
mengatakannya kepada siapa pun, hamba kira sebuah sumur paling dapat
dipercaya.”
Supaya adil, Alexander mengutus
seseorang pergi ke sumur itu, dan mencabut sebatang alang-alang yang
lain. Ketika ilalang itu dibawa ke hadapan Alexander, Alexander
menyuruh si gembala membuat seruling dari batang ilalang tersebut. Saat
Alexander meniup seruling itu, terdengar irama, “Alexander Agung
bertelinga gajah”
Sejenak Alexander terpekur, kemudian
dia berkata, “Biarkan gembala ini pergi.” Lantas dia menatap Wahid
sambil tersipu-sipu malu. “Engkau boleh tetap jadi tukang cukurku jika
engkau mau.”
Setelah itu Alexander memanggil pelukis
kaligrafi terbaik di kota untuk menuliskan sebuah kalimat dengan tinta
emas. Dia menggantung tulisan tersebut di depan ranjangnya, tempat
pertama yang dilihatnya setiap pagi. Kalimat itu berbunyi:
INGATLAH SELALU, BAHWA SAHABAT SEKEPERCAYAAN TERBAIK
HANYALAH DIRIMU SENDIRI; KARENA SUMUR SEKALIPUN BISA
MENJADI PENGKHIANAT DI BELAKANG KETIDAKTAHUANMU.
Sumber :
- Mojdeh Bayat dan Mohammad Ali Jamnia, "Para Sufi Agung : Kisah dan Legenda",Terjemahan dari : "Tales from the Land of the Sufis", Pustaka Sufi, Jogjakarta, 2003, hal 142 - 145.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar