Share

Halaman

Rabu, 01 Mei 2013

Rahasia Besar Alexander


Alexander Agung memiliki sebuah rahasia keburukan yang tidak bisa dipercayakan kepada siapa pun-tak seorang pun, kecuali seorang lelaki tua yang menjadi tukang cukurnya dan merupakan orang kepercayaannya. Rahasia itu adalah bahwa Alexander mempunyai telinga mirip gajah! Sedemikian besar telinga sang raja, sehingga dia harus menyembunyikannya karena takut dicemooh. Oleh karena itu dia selalu menutupi telinganya dengan topi. Tak seorang pun kecuali tukang cukurnya, yang tahu bahwa dia menyimpan “rahasia” di balik topinya.
Suatu ketika, tukang cukur yang sudah tua itu jatuh sakit dan tidak dapat menjalankan tugasnya. Dengan enggan, Alexander harus mencari tukang cukur yang lain. Tukang cukur yang sudah tua menyarankan Wahid, seorang pelayan istana raja. Wahid terkenal sebagai orang jujur dan bertanggung jawab. Sesungguhnya, tukang cukur yang sudah tua itu tidak dapat memikirkan orang lain selain Wahid yang dapat dipercaya untuk menyimpan rahasia tersebut. Mulanya sang raja tidak mau mempekerjakan tukang cukur yang lain, namun setelah tukang cukur tua meninggal, mau tidak mau Alexander harus menuruti nasihat sang tukang cukur terdahulu dan mempekerjakan Wahid. (Di samping itu rambut sang raja sudah sangat lebat.)
Pada saat Wahid memotong rambut Alexander, saking terkejutnya melihat telinga raja yang sangat besar, Wahid menjatuhkan guntingnya. Alexander yang tahu keterkejutan pemuda itu menegurnya: “Jika engkau menceritakan apa yang baru kaulihat, aku akan menarik putus lidahmu lalu memenggal kepalamu.” Wahid begidik juga mendengar ancaman itu dan berjanji untuk menyimpan rahasia tersebut, tetapi dia sangat ketakutan sehingga sepanjang sore itu dan berhari-hari setelahnya dia hanya memikirkan kepalanya yang sudah dipenggal menggelinding ke atas tanah.
{jcomments on}
Saking takutnya Wahid terhadap ancaman raja, Wahid jarang berbincang-bincang dengan orang lain karena takut terselip lidah. Meski begitu, Wahid merasa terbebani, dia perlu berbagi itu rahasia itu dengan orang lain. Menyimpan rahasia seorang diri sangatlah sulit. Wahid tahu betul bahwa satu-satunya cara agar dia dapat kembali bernapas dengan lega adalah dengan menceritakan rahasia mengenai telinga besarnya Alexander kepada seseorang, dan dengan begitu terhempaslah beban itu dari dadanya. Tetapi, siapa yang dapat dipercaya? Sekali rahasia itu diungkap, tinggal menunggu waktu sebelum setiap orang di seluruh kota mengetahuinya, kemudian pemenggalan kepala Wahid akan segera mengikutinya. Pada akhirnya Wahid menemukan sebuah gagasan.
Suatu hari Wahid menyelinap keluar istana, dan pergi menuju padang gembala yang letaknya tidak jauh dari kota. Di sana ia menemukan sumur tempat para gembala kerap mengasoh dan memberi minum ternaknya. Seteah memperhatikan bahwa tidak ada orang di situ, Wahid mendekati sumur itu, memasukkan kepalanya ke dalam sumur, lalu berteriak, “Alexander Agung bertelinga gajah.” Seketika ketenangan dan kedamaian menghampiri diri Wahid. Dia merasa bebas dan lepas, perasaan yang sudah lama tidak dialaminya-tepatnya sejak hari pertamanya menjadi tukang cukur istana. Dengan perasaan riang dan puas, Wahid kembali ke istana dan tidak legi tertekan.
Bulan demi bulan berlalu, Wahid tampak menikmati pekerjaannya, sementara Alexander merasa puas dengan hasil kerjanya. Sayangnya, rahasia sang raja tidak seaman perkiraan Wahid. Setelah kedatangan Wahid, dari dalam bibir sumur itu tumbuh rumput liar. Suatu hari, seorang gembala yang sedang menggunakan sumur itu melihat rumput itu lalu mencabut sebatang alang-alang. Dengan membuat beberapa lubang pada batang alang-alang tersebut, dia menciptakan instrument musik sederhana untuk menghibur dirinya. Namun ketika dia meniupnya, seruling buluh alang-alang itu mengeluarkan melodi yang aneh, karena memperdengarkan kalimat, “Alexander Agung bertelinga gajah.”
Kebetulan  saat itu Alexander sedang melewati padang tersebut, ketika dia mendengar kata-kata, “Alexander Agung bertelinga gajah.” Dia mengikuti suara musik itu, dan sampailah ia di tenda tempat berteduh si gembala. Di dalam tenda itu terlihat gembala yang dengan riang memainkan seruling buluh alang-alangnya. Karena marah, Alexander langsung menangkap dan membawa si peniup seruling batang alang-alang tanpa penjelasan. Di istana, sang raja menanyainya dengan sikap yang keras tentang di mana dan dari mana dia mendengar lagu itu. Gembala yang ketakutan itu menceritakan sumur dan alang-alang, bersumpah bahwa dia tidak tahu sama sekali mengapa serulingnya bersuara seperti itu.
“Tidak masuk aka!” ucap sang raja mendengar cerita tersebut. Dan dia berpikir bahwa gembala itu pasti teman Wahid, karena hanya Wahid yang tahu rahasianya. Ketika dipanggil, Wahid tidak punya pilihan lain kecuali mengatakan yang sebenarnya: “Hamba bersumpah, hanya sekali itu hamba mengungkapkan rahasia paduka, yaitu saat hamba meneriakkannya ke dalam sumur di padang gembala.”
“Engkau berteriak ke dalam sumur?” Tanya sang raja heran. “Kenapa pada sebuah sumur?”
“Karena hamba tidak kuat menahan tekanan untuk menyimpan rahasia tersebut. Dan karena hamba tidak dapat mengatakannya kepada siapa pun, hamba kira sebuah sumur paling dapat dipercaya.”
Supaya adil, Alexander mengutus seseorang pergi ke sumur itu, dan mencabut sebatang alang-alang yang lain. Ketika ilalang itu dibawa ke hadapan Alexander, Alexander menyuruh si gembala membuat seruling dari batang ilalang tersebut. Saat Alexander meniup seruling itu, terdengar irama, “Alexander Agung bertelinga gajah”
Sejenak Alexander terpekur, kemudian dia berkata, “Biarkan gembala ini pergi.” Lantas dia menatap Wahid sambil tersipu-sipu malu. “Engkau boleh tetap jadi tukang cukurku jika engkau mau.”
Setelah itu Alexander memanggil pelukis kaligrafi terbaik di kota untuk menuliskan sebuah kalimat dengan tinta emas. Dia menggantung tulisan tersebut di depan ranjangnya, tempat pertama yang dilihatnya setiap pagi. Kalimat itu berbunyi:
INGATLAH SELALU, BAHWA SAHABAT SEKEPERCAYAAN TERBAIK
HANYALAH DIRIMU SENDIRI; KARENA SUMUR SEKALIPUN BISA
MENJADI PENGKHIANAT DI BELAKANG KETIDAKTAHUANMU.


Sumber :
  1. Mojdeh Bayat dan Mohammad Ali Jamnia, "Para Sufi Agung : Kisah dan Legenda",Terjemahan dari : "Tales from the Land of the Sufis", Pustaka Sufi, Jogjakarta, 2003, hal 142 - 145.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar