Share

Halaman

Rabu, 01 Mei 2013

Layla dan Majnun


Kepala suku Banu ‘Umar di Araba memiliki semua yang diinginkan oleh seorang lelaki, kecuali satu hal-andai saja di mempunyai seorang anak. Sudah banyak dukun kampung yang meracik obat dan ramuan untuknya, tetapi nihil. Ketika tak satu pun upayanya berhasil, isterinya menyarankan agar mereka berdua bersujud kepada Tuhan, memohon belas kasih-Nya agar mereka dianugerahi anak. “Kenapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita sudah mencoba segala cara. Ditambah satu cara lagi tidak akan menyakiti.”

Maka pasangan suami-isteri itu pun berlutut di hadapan Yang Maha Agung, berurai airmata dari lubuk hati mereka yang terluka. “Oh, Yang Maha Pengasih, jangan biarkan pohon kami tidak berbuah. Biarkan kami merasakan manisnya menimang bayi di dalam pelukan kami. Berilah kami berkah tanggung jawab membesarkan seorang manusia. Beri kami kesempatan untuk membuat-Mu bangga terhadap anak kami.”
Tidak berapa lama, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan memberkati mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qays. Kebahagiaan sang ayah tak terperi, karena Qays adalah anak yang dicintai semua orang, seorang anak yang tampan, dengan mata cokelatnyayang besar dan rambutnya yang hitam, Qays selalu menjadi pusat perhatian dan kekaguman orang-orang. Sejak awal Qays memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan yang tidak biasa. Dia mempunyai bakat luar biasa untuk mempelajari seni perang di samping musik, puisi, dan menjelajahi kanvas.
{jcomments on}
Ketika tiba masanya sang anak bersekolah, ayahnya memutuskan untuk membangun sebuah sekolah di mana pengajarnya terdiri dari guru-guru terbaik di Arabia, dan hanya orang-orang terbaik yang belajar di situ. Putra-putri dari keluarga bangsawan berdatangan dari seluruh penjuru Arab untuk memasuki sekolah baru tersebut.
Di antaranya adalah putri seorang kepala suku tetangga-permata dari para gadis, yang memiliki kecantikan perempuan yang sangat luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam, karena itu dia diberi nama Layla yang artinya “malam”. Meskipun usianya baru 12 Tahun, banyak lelaki yang telah melamarnya, seperti kebiasaan di kala itu, sering kali para gadis dipinang pada umur 9 tahun.
Layla dan Qays adalah teman sekelas, dan sejak hari pertama mereka bertemu, mereka sudah saling tertarik. Waktu berlalu, percikan ketertarikan ini tumbuh menjadi api cinta yang membara. Bagi Layla dan Qays, sekolah bukan lagi tempat untuk belajar-melainkan tempat pertemuan, tempat perjamuan mereka. Ketika guru mengajar, mereka saling bertatapan; dan ketika tiba saatnya mencatat pelajaran, mereka malah saling menulis nama satu sama lain di atas kertas. Tidak ada teman, tidak ada kesenangan lain yang hadir di antara mereka berdua. Dunia menjadi hanyalah Laya dan Qays; mereka buta dan tuli terhadap yang lainnya.
Sedikit demi sedikit, akhirnya semua orang mengetahui cinta mereka, dan pergunjingan pun dimulai. Di masa itu, seorang gadis yang dikenal sebagai obyek cinta seseorang dianggap tidak pantas-dan tentunya tidak diharapkan. Oleh karena itu, ketika orangtua Layla mendengar kasak-kusuk tentang anak gadisnya, mereka melarang Layla pergi ke sekolah. Beban malu bagi keluarga kepala suku tidak dapat ditahan.
Ketidakhadiran Layla di ruang kelas membuat Qays menderita dan patah-hati. Dia meninggalkan sekolah dan mulai berkelana di jalanan mencari kekasihnya, sambil memanggil-panggil nama Layla. Qays membuat puisi untuk Layla dan melantunkannya sambil berjalan. Dia tidak berbicara apa pun kecuali tentang Layla, juga tidak mempedulikan orang lain kecuali ditanya mengenai Layla. Orang-orang menertawakannya dan mengacungkan jari kepadanya, sambil berkata, “Lihat dia-dia adalah majnun, si gila!”, dan nama itu pun melekat padanya.
Melihat orang-orang mendengar, maupun berbicara dengan mereka menjadi hal yang tidak dapat ditanggung Majnun. Dia berharap tidak melihat siapa pun kecuali Layla. Karena itu dia meninggalkan desanya. Majnun tahu bahwa Layla dipingit orangtuanya di rumahnya, orangtua Layla sadar bahwa jika Layla dibiarkan pergi sesuka hatinya, Layla pasti akan menemui Majnun. Majnun menemukan tempat di puncak sebuah bukit dekat desa Layla. Dia lantas membangun sebuah gubuk di situ, gubuk yang sejalur pandang dengan rumah Layla.
Sepanjang hari Majnun akan duduk di depan pondoknya, di samping sungai kecil yang berkelok-kelok menuruni bukit menuju desa. Majnun berbicara kepada air, mengirimkan kelopak bunga liar bersama aliran air tersebut, yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan salam cintanya kepada Layla. Dia menyapa dan meminta burung-burung untuk terbang memberitahu Layla bahwa dia berada di dekatnya. Ia menghirup angin yang bertiup dari barat, karena angin tersebut telah melalui desa Layla. Jika ada anjing tersesat dari arah perkampungan Layla, Majnun akan memberinya makan, merawatnya, dan menyayangi  hewan tersebut seperti benda keramat, menghormatinya dan memeliharanya hingga anjing itu memilih untuk pergi. Apa pun yang berasal dari tempat kekasihnya berada dianggap sebagai kekasih.
Bulan demi bulan berlalu, Majnun belum juga melihat jejak Layla. Kerinduan Majnun terhadap Layla begitu besar sehingga dia merasa tidak dapat hidup lebih lama lagi tanpa melihatnya kembali. Terkadang teman-teman sekolahnya dulu datang berkunjung, tetapi majnun hanya mau bicara tentang Layla kepada mereka, dan seberapa besar kerinduannya kepada Layla. Suatu hari, ada tiga orang pemuda yang datang menengok Majnun. Mereka memutuskan untuk membantunya agar dapat melihat Layla kembali.
Rencana mereka sangat cerdas. Keesokan harinya mereka dan Majnun mendekati rumah Layla dengan menyamar sebagai perempuan. Dengan mudah mereka menipu pelayan-pelayan di rumah Layla, dan berhasil mencapai pintu kamar Layla. Majnun masuk ke dalam kamar itu sementara teman-temannya berdiri di luar pintu, berjaga-jaga.
Sejak berhenti sekolah, Layla tidak berbuat apa-apa kecuali memikirkan Qays. Anehnya, setiap kali dia mendengar burung berkicau lewat jendela atau lewat tiupan angin yang lembut, dia menutup mata, berpikir bahwa dia dapat mendengar suara Qays di dalam kicauan itu. Dia menangkap kelopak-kelopak bunga yang dibawa angin atau aliran sungai, dan tahu bahwa kelopak-kelopak itu berasal dari Qays. Tetapi ia tidak pernah membicarakan cintanya dengan siapa pun, bahkan kepada sahabat terdekatnya.
Pada hari Majnun memasuki kamarnya, Layla telah lebih dahulu merasakan kedatangan Majnun. Layla mengenakan gaun terbaiknya, baju panjang berwarna biru kehijauan dari sutera. Rambutnya dibiarkan terurai, dan dengan hati-hati disisir di sekeliling bahunya. Matanya diberi celak bubuk hitam yang disebut surmeh, seperti kebiasaan kaum wanita di Arab. Bibirnya diberi pemerah, dan pipinya yang kemerahan alami tampak bersinar, menampakkan rasa senangnya. Dia duduk di depan pintu, menunggu. Ketika Majnun masuk, Layla nyaris tidak mempercayai bahwa itu benar-benar terjadi.
Majnun berdiri di pintu selama beberapa jenak, mereguk tatapan Layla. Akhirnya mereka bersama lagi! Tak terdengar apa pun kecuali detak jantung mereka berdua. Mereka saling menatap dan memandang, tidak menyadari waktu yang terus berlalu.
Salah seorang pengurus rumah Layla memperhatikan keberadaan seorang perempuan tak dikenal di luar pintu kamar majikannya. Kecurigaannya timbul, dia lantas memberi tanda kepada salah seorang pengawal. Namun ketika ibu Layla datang untuk menyelidik, Majnun dan teman-temannya sudah lama pergi. Bagaimana pun, begitu orangtua Layla menanyai Layla, tidak suit bagi mereka menebak apa yang telah terjadi. Kediaman Layla dan kebahagian yang terpancar di matanya telah menceritakan semuanya.
Setelah itu ayah Layla menempatkan penjaga di setiap pintu yang ada di rumah itu. Tertutup sudah jalan masuk, sekalipun jalan menuju bagian terpencil di rumah tersebut. Tetapi salah besarlah ayah Layla kalau berpikir bahwa dengan penjagaan tersebut perasaan Layla dan Majnun dapat berubah.
Waktu ayah Majnun mengetahui peristiwa yang terjadi di rumah Layla, dia memutuskan untuk mengakhiri drama gila-gilaan dan memalukan tersebut dengan cara melamar Layla untuk putranya. Ayah Majnun menyiapkan rombongan pembawa hadiah dan membawanya ke desa Layla.
Rombongan tamu tersebut disambut dengan baik. Kedua kepala suku bercakap-cakap tentang kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun yang memulai, “Engkau tahu betul, sahabatku, ada dua hal penting agar kita bahagia-yaitu cinta dan harta. Putraku mencintai putrimu, dan aku bisa menjamin bahwa aku akan memberi mereka nafkah yang cukup agar mereka hidup dengan nyaman.”
“Aku tidak menentang Qays, dan aku percaya karena tidak diragukan lagi engkau adalah orang yang terhormat,” jawab ayah Layla. “Meski demikian, engkau tidak dapat menyalahkan aku bila bersikap agak hati-hati terhadap putramu, semua orang telah mengetahui pola-tingkahnya yang sedikit menyimpang. Pakaiannya saja kaya’  pengemis tuh. Pasti dia tidak pernah mandi apalagi keramas selama berabad-abad. Hidupnya bersama binatang dan orang-orang terasing. Coba katakana padaku, sahabatku, andai engkau yang memiliki anak perempuan sedangkan aku berada sepertimu, apakah engkau akan memberikan putrimu kepada putraku yang gendeng ini?”
Ayah Qays mati kutu. Apa lagi yang dapat dikatakannya? Bahwa putranya dulu pernah menjadi contoh terunggul di antara teman-teman sebayanya? Bahwa dulu putranya adalah anak yang paling cerdas dan berbakat di seluruh daratan Arab? Tentu saja tidak. Ayahnya sendiri bahkan sulit dipercaya bahwa itu semua pernah terjadi. Sudah lama sekali tidak ada orang yang mendengar kalimat yang masuk akal dari mulut Majnun. “Aku tidak akan hanya diam dan melihat putraku menghancurkan dirinya sendiri,” pikir ayah Majnun. “Harus ada tindakan.”
Ketika ayah Majnun kembali, dia mengirim pesan kepada putranya. Ia mengadakan jamuan makan malam di mana gadis-gadis paling cantik diundang menghadirinya. Ayah Majnun yakin kehadiran gadis-gadis cantik itu bisa mengalihkan, paling tidak barang sedikit, perhatian Majnun kepada Layla.
Di dalam pesta itu Majnun cuma diam mematung dan mengabaikan para tamu. Dia duduk di pojok, memandang para gadis hanya untuk mencari kemiripan wajahnya dengan Layla-nya, salah seorang gadis itu mengenakan gaun yang mirip gaun Layla, gadis satunya memiliki rambut yang panjangnya sama dengan rambut Layla, sedangkan gadis lainnya memiliki senyum yang mirip dengan senyum Layla; bahkan tak seorang pun kecantikannya setengahnya dari kecantikan Layla. Pesta itu hanya memperdalam perasaan Majnun kepada kekasihnya, dan dia makin dirundung putus asa, menyalahkan setiap orang yang hadir di pesta itu karena coba menipunya. Dalam isak tangisnya Majnun menuduh orangtua dan sahabat-sahabatnya sebagai pemangsa jiwa cintanya yang keji dan bengis. Tersedu-sedulah Majnun di pojok ruangan hingga akhirnya dia terjatuh di atas lantai tak sadarkan diri.
Setelah bencana itu, ayah Qays memutuskan untuk membawa Majnun berangkat menunaikan ibadah haji ke Makkah, berharap Tuhan akan memberi Majnun belas kasih-Nya, dan membebaskannya dari cinta yang meluluhkan dan menghancurkan kepribadiannya itu. Di Makkah, untuk menyenangkan hati ayahnya, Majnun berlutut di tempat peribadatan-tapi tahu tidak, apa yang di doakan? “Oh, Yang Maha Pengasih, Raja Diraja, Engkau yang melimpahkan cinta, aku hanya memohon satu hal: mikrajkan aku dalam cinta hingga tingkatan yang sekalipun aku akan binasa, cintaku dan kekasihku akan tumbuh berkembang.” Kepala suku akhirnya sadar, dia tidak dapat berbuat apa pun untuk putranya.
Setelah berangkat haji, Majnun yang tidak ingin bertemu dengan penduduk desa pergi ke gunung tandus, tanpa memberitahu seorang pun ke mana tujuannya. Dia tidak kembali ke gubuknya, melainkan memilih reruntuhan bangunan yang terpisah dari masyarakat, dan di situlah ia tinggal.
Suatu hari, seorang lelaki yang kebetulan melewati reruntuhan bangunan tersebut melihat ada orang yang aneh yang sedang duduk di salah satu dinding yang sudah runtuh. Rambut orang liar itu terurai menjurai di bahunya, janggutnya panjang dan asal-asalan, pakaiannya kusam dan compang-camping. Ketika orang lewat itu tidak dijawab salamnya, dia mendekati si dekil aneh. Dan barulah ia melihat ada seekor serigala yang sedang tidur di kaki si dekil aneh itu. “Hush,” kata si dekil aneh, “engkau sudah membangunkan sahabatku.” Lalu si dekil aneh itu menerawang dalam jelajah pandang yang terjauh.
Sang pengembara yang penasaran kemudian duduk diam, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Akhirnya si dekil aneh lagi liar itu mulai berbicara. Si pengembara langsung sadar bahwa si dekil aneh dan liar itu adalah Majnun yang terkenal, yang keanehannya dipergunjingkan di seantero Arabia. Kelihatannya, Majnun tidak menemukan kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan alam liar. Dalam kenyataannya, dia menyesuaikan diri dengan baik, sehingga sulit melihatnya sebagai bagian yang terpisah dari lingkungan sekitarnya. Binatang berdatangan kepadanya, secara naluriah tahu bahwa Majnun tidak akan pernah melukai mereka. Kebaikannya telah mendapatkan kepercayaan hewan-hewan tersebut, bahkan kepercayaan dari hewan liar yang paling kejam sperti serigala. Sang pengembara mendengarkan dengan seksama ketika Majnun menyanyikan senandung pujiannya untuk Layla. Mereka berdua berbagi makanan yang dibawa si pengembara. Setelah itu si pengembara pergi dan melanjutkan perjalanannya.
Ketika pengembara itu tiba di desa Majnun, dia menceritakan perjumpaannya dengan Majnun kepada penduduk desa. Tentu saja, kisah tersebut sampai jua di telinga kepala suku, yang kemudian mengundang sang pengembara dan menanyainya tentang detail ceritanya. Girang karena Majnun masih hidup, kepala suku berangkat ke gurun untuk menemui Majnun.
Melihat reruntuhan yang telah digambarkan oleh sang pengembara, kepala suku dipenuhi emosi. Jadi, beginikah keadaan memilukan yang dialami putranya? “Ya, Tuhan, kumohon, selamatkanlah jiwa putraku, dan kembalikan dia pada keluarganya,” jerit kepala suku dalam doanya. Majnun mendengar doa ayahnya, dan bergegas keluar dari tempat persembunyiaannya. Majnun berlutut di kaki ayahnya. “Ayahku tersayang, maafkan aku atas semua kesedihan yang kubuat padamu. Tolong, lupakan bahwa engkau pernah memiliki seorang anak, karena itu akan membantumu mengatasi kepedihanmu. Ini adalah takdirku-untuk mencintai, dan hidup demi cinta.”
Ayah dan anak itu saling berpelukan sambil menangis. Ini adalah pertemuan mereka yang terakhir.
Sanak keluarga Layla menyalahkan ayah Layla yang dianggap salah membaca dan menangani situasi. Mereka yakin bahwa skandal tersebut mempermalukan seluruh keluarga. Karena alasan inilah orangtua Layla mengurung Layla di kamarnya. Beberapa orang teman Layla masih diizinkan datang berkunjung. Tetapi Layla tidak ingin ditemani. Dia menarik diri, mengembangkan api cinta yang menyala di hatinya dalam kesunyian yang abadi.
Untuk mengekspresikan perasaan terdalamnya, Layla menulis sajak untuk kekasihnya di atas kertas gores berukuran saku. Lalu, ketika dia diperbolehkan berada di taman sendirian, ia akan menerbangkan kertas-kertas itu bersama semilir angin. Penduduk desa yang menemukan kertas berisi puisi itu akan menyerahkannya kepada Majnun. Dengan cara itulah kedua pencinta tersebut berhubungan.
Karena Majnun terkenal di seluruh penjuru, banyak orang mengunjungi Majnun. Mereka hanya tinggal sebentar karena tahu Majnun tidak tahan ditemani lama-lama. Mereka mendengarkan Majnun menyanyikan syair-syair cinta terindah dan dengan mempesona memainkan seruling buluh alang-alang. Sebagian orang merasa iba kepadanya, sebagiannya lagi hanya penasaran atas golak rindu cintanya. Namun tak seorang pun yang mampu merasakan kasih sayangnya yang mendalam terhadap semua makhluk.
Salah seorang pengunjung Majnun adalah seorang ksatria gagah yang bernama Abu ‘Amr. Abu ‘Amr singgah di tempat Majnun dalam perjalanannya menuju Makkah. Meskipun dia telah mendengar kisah cinta Majnun di kotanya, Abu ‘Amr ingin mendengarnya langsung dari bibir Majnun sendiri. Kisah drama yang tragis mengiris tersebut telah melemparkannya di kelopak kesedihan dan kepedihan, sehingga ia bersumpah akan melakukan apa pun yang mungkin dilakukannya untuk menyatukan kedua kekasih tersebut-sekalipun berarti harus menghancurkan pihak-pihak tertentu yang bertahan!
Abu ‘Amr kembali ke kota asalnya lalu dengan geram mengumpulkan pasukannya. Pasukan tentara itu berderap menuju desa Layla dan menyerang tanpa ampun. Timbul perlawanan dari penduduk desa, banyak orang yang mati dan terluka. Pasukan Abu ‘Amr sudah hampir memenangkan pertempuran ketika ayah Layla mengirimkan pesan kepada Abu ‘Amr: “JIka engkau atau salah satu prajuritmu menginginkan putriku, aku akan menyerahkannya tanpa perlawanan. Bahkan, sekalipun engkau akan membunuh putriku, aku tidak akan membantah. Tetapi satu hal yang tidak akan pernah kuterima: jangan memintaku menyerahkan putriku kepada orang gila itu!
Di dalam medan pertempuran, Majnun berkeliaran dengan bebas di antara prajurit, dan menghampiri sanak keluarga Layla yang terluka. Dia merawat mereka dan berusaha semampunya mengobati luka mereka. Ketika Abu ‘Amr menuntut penjelasan tentang apa tujuan Majnun yang membantu dan bersekongkol dengan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang itu berasal dari tanah kekasihku. Bagaimana mungkin mereka menjadi musuhku?”
Dengan segenap simpatinya terhadap Majnun, Abu ‘Amr sama sekali tidak memahami hal itu. Apa yang dikatakan ayah Layla tentang orang gila tersebut tampak masuk akal sekarang. Oleh karena itu, Abu ‘Amr memerintahkan pasukannya mundur. Secepat mereka datang, secepat itu pula pasukan Abu ‘Amr meninggalkan desa-tanpa mengucapkan salam kepada Majnun.
Layla kembali merana dalam kamar pingitannya yang sepi. Satu-satunya kebahagiannya adalah berjalan-jalan di setaman bunganya. Suatu hari, ketika dia sedang berjalan menuju taman bunganya, Ibn Salam, seorang bangsawan yang kaya dan berkuasa, terpana oleh panah sekilas kerlingan Layla dan langsung jatuh cinta. Tanpa menunda waktu dia segera mencari ayah Layla. Kelelahan dan putus asa akibat pertempuran yang baru saja berlalu dan meninggalkan banyak yang terluka, ayah Layla menyetujui pernikahan tersebut.
Tentu saja Layla menolaknya mati-matian. Dia berkata kepada ayahnya, “Aku akan lebih bahagia bila mati daripada menikah dengan orang itu.” Namun isak tangis dan permohonannya tidak digubris. Layla kemudian mendatangi ibunya, tetapi juga tidak berhasil.
Pernikahan itu berlangsung cepat. Orangtua Layla merasa lega karena akhirnya semua cobaan berat yang harus mereka alami telah berakhir. Bagaimana pun, Layla menjeaskan kepada suaminya bahwa dia tidak akan pernah mencintainya. Secuil pun. “Aku tidak akan pernah menjadi isteri buatmu,” Layla menyatakan perasaannya. “Jadi jangan buang waktumu untukku. Carilah kekasih lain yang lebih pas dan sejiwa denganmu-aku yakin masih banyak perempuan yang bisa membahagiakanmu.” Walaupun kata-kata Layla begitu dingin, Ibn Salam yakin bahwa setelah hidup bersamanya, lambat-laun Layla akan sadar. Ibn Salam memutuskan untuk tidak mendorong dirinya mengambil hati Layla, melainkan menunggu hingga Layla datang kepadanya.
Ketika berita pernikahan Layla sampai ke telinga Majnun, Majnun meraung-raung selama berhari-hari dan menyanyikan lagu-lagu keperihan yang begitu menyayat-sayat sehingga siapa pun yang mendengarnya akan menangis. Kepedihannya begitu dalam hingga binatang-binatang yang berkumpul di dekatnya ikut muram.  Namun ketidakberdayaannya hanya berlangsung sebentar, karena kemudian kedamaian mendalam yang aneh tampak menguasainya. Seakan-akan tidak ada yang terjadi, Majnun meneruskan kehidupannya di reruntuhan. Meski demikian, perasaannya kepada Layla tidak berubah, justru bertambah semakin dalam.
Dengan penuh ketulusan Majnun mengirim ucapan selamat atas pernikahan kekasihnya: “Semoga seluruh kebahagiaan di dunia menjadi milikmu. Aku hanya meminta satu hal sebagai orang yang mencintaimu-bahwa engkau akan mengingat namaku, meski dikau memilih bersatu dengan orang lain. Jangan pernah melupakan bahwa ada orang yang raganya, bahkan seandainya raga itu hancur berkeping-keping, akan memanggil hanya satu nama, dan nama itu adalah namamu, Layla.”
Sebagai balasan, Layla mengirimkan anting-antingnya, symbol tradisional tentang kesetiaan sejati. Di dalam surat yang menyertainya, dia menulis: “Aku lupakan semuanya karena semua pikiranku hanya tertuju padamu. Aku telah menyimpan cintaku begitu lama, tanpa mampu menceritakannya kepada orang lain, sementara engkau meneriakkan cintamu ke seluruh penjuru dunia. Aku terbakar di dalam, sedangkan engkau membakar sekelilingmu. Sekarang aku harus tahan menghabiskan seluruh hidupku dengan seorang lelaki, padahal seluruh jiwaku adalah milik lelaki lain. Katakana padaku, siapa di antara kita yang lebih dibuat gila oleh cinta, engkau atau aku?”
Tahun demi tahun berlalu, orangtua Majnun telah tiada. Sedangkan Majnun terus hidup di atas puing-puing reruntuhan, merasakan kesepian yang lebih sunyi dan yang lebih senyap dari sebelumnya. Di siang hari dia akan berkelana di gurun bersama hewan-hewan kerabat setianya. Ketika jembar malam tiba, ia akan memainkan serulingnya, dan menyanyikan sajak-sajak perindunya pada hewan-hewan liar yang sekarang menjadi pendengar satu-satunya. Dia sering menulis sajak untuk Layla di atas desiran pasir dengan sebatang ranting kurus. Setelah sedemikian lama terbiasa dengan cara hidup yang aneh seperti itu, Majnun mencapai kedamaian dan keseimbangan jiwa yang tidak satu pun dapat memberantakkannya.
Sementara di seberang kehidupan sana, Layla tetap setia kepada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekati Layla. Meskipun ia hidup bersama Layla, ia jauh darinya. Perhiasan dan hadiah mahal tidak mampu membeli kesetiaan Layla, dan Ibn Salam akhirnya menyerah, tidak lagi mencoba menenangkan hati Layla. Baginya, hidup menjadi pahit dan tidak berguna, dan dia tidak menemukan ketenteraman dan perlindungan di rumah. Layla dan dirinya adalah orang asing, dia bahkan tidak dapat berbagi berita di luaran bersama Layla. Tak sepatah kata pun pernah terucap dari bibir Layla kecuali bila ditanya, dan jawabannya patah-patah singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, Ibn Salam menyerah sepenuhnya, karena hidupnya tidak memberikan harapan. Ibn Salam meninggal dunia pada suatu pagi yang sunyi di musim panas.
Kematian suaminya kelihatannya menarik pintu hati Layla yang tertutup. Begitulah yang dipikirkan orang-orang ketika melihat Layla menangis pada kematian suaminya, meski sebenarnya Layla menangisi cinta pertamanya yang hilang ketika bersama Majnun. Selama bertahun-tahun ia berjuang sekeras-kerasnya, serapat-rapatnya, menyembunyikan perasaannya dan berusaha tampil tenang, dia tidak pernah menangis. Sekarang ia meraung panjang dan melolong, menangisi perpisahannya dengan Majnun.
Setelah masa berkabungnya usai, Layla kembali ke rumah ayahnya. Walaupun usianya masih muda, Layla tampak dewasa, tampak matang dan arif, yang jarang terlihat pada gadis sebayanya. Namun, sementara cintanya semakin membara, kesehatannya semakin menurun karena dia tidak pernah lagi merawat diri, mengabaikan makan dan melewatkan malam-malam tanpa waktu istirahat yang cukup. Bagaimana dia dapat memperhatikan tubuhnya apabila perhatiannya hanya tertuju pada Majnun? Layla sendiri tahu dengan baik bahwa ia mungkin tidak dapat hidup lebih lama lagi.
Akhirnya, batuk kronis yang tidak bisa diobati dan sudah diderita Layla selama berbulan-bulan, menyerangnya dengan hebat. Di atas pembaringan mautnya, Layla masih tetap memikirkan Majnun. Ah, seandainya dia bisa bertemu dengan Majnun sekejap saja dan ia membuka matanya hanya untuk melihat kearah pintu, berharap kekasihnya datang. Tetapi dia tahu waktunya hampir habis, dan dia harus pergi tanpa sempat berpamitan kepada Majnun. Pada suatu malam musim gugur yang dingin, dengan mata terpaku pada pintu, Layla meninggal dengan tenang sambil bergumam, “Majnun.”
Berita kematian Layla segera tersebar ke mana-mana. Berita itu juga sampai kepada Majnun. Ketika Majnun mendengarnya, ia pingsan di tengah-tengah gurun selama berhari-hari. Waktu ia sadar dengan sendirinya, Majnun berjalan menuju desa Layla. Dengan tenaga yang hanya cukup untuk berjalan, dia menyeret tubuhnya di atas pasir. Majnun terus berjalan tanpa henti hingga tiba di makam Layla di luar kota. Dia menangis berhari-hari, dan ketika tidak ada cara lain untuk menghilangkan rasa sakitnya, Majnun merebahkan kepalanya di atas kuburan Layla, lalu dengan tenang melepaskan jiwanya.
Tubuh Majnun tetap berada di atas kuburan Layla selama satu tahun. Pada hari peringatan kematian Layla, teman-teman dan sanak keluarga Layla menyambangi kuburan tersebut, dan mereka menemukan tubuh berbaring di atas makam. Pasangan teman sekolah Layla mengenali tubuh itu, itu adalah Majnun. Majnun kemudian dikubur di samping Layla. Kedua kekasih itu, yang telah menyatu dalam keabadian, akhirnya juga bersatu.
Dikatakan kemudian bahwa terkadang seorang Sufi mendapat mimpi di mana Majnun muncul bersama Tuhan. Tuhan membelai Majnun dengan penuh kasih, dan meminta Majnun duduk di samping-Nya. Kemudian Dia bertanya kepada Majnun: “Apakah engkau tidak malu memanggil-Ku dengan nama Layla setelah meminum anggur cinta-Ku?”
Sang Sufi terbangun dalam kebingungan. Jika Majnun diperlakukan dengan begitu penuh kasih oleh Tuhan, lalu bagaimana dengan Layla? Dan Tuhan langsung memunculkan jawabannya dalam pikirannya: “Posisi Layla diangkat atas semuanya, karena dia menyimpan rahasia-rahasia yang di dalamnya tersembunyi Cinta.”

Sumber :
  1. Mojdeh Bayat dan Mohammad Ali Jamnia, "Para Sufi Agung : Kisah dan Legenda",Terjemahan dari : "Tales from the Land of the Sufis", Pustaka Sufi, Jogjakarta, 2003, hal 129-141.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar