
Kriteria harta menurut para ahli fiqh
terdiri atas : pertama,memiliki unsur nilai ekonomis.Kedua, unsur
manfaat atau jasa yang diperoleh dari suatu barang.
Nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi
kriteria harta ditentukan berdasarkan urf (kebiasaan/ adat) yang berlaku
di tengah masyarakat.As-Suyuti berpendapat bahwa istilah Mal hanya
untuk barang yang memiliki nilai ekonomis, dapat diperjualbelikan, dan
dikenakan ganti rugi bagi yang merusak atau melenyapkannya.
Dengan demikian tempat bergantungna
status al-mal terletak pada nilai ekonomis (al-qimah) suatu barang
berdasarkan urf. Besar kecilnya al-qimah dalam harta tergantung pada
besar ekcilnya anfaat suatu barng. Faktor manfaat menjadi patokan dalam
menetapkan nilai ekonomis suatu barang. Maka manfaat suatu barang
menjadi tujuan dari semua jenis harta.
PANDANGAN ISLAM MENGENAI HARTA
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Pemiliki Mutlak terhadap segala
sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah ALLAH SWT. Kepemilikan oleh
manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola
dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya (QS al_Hadiid: 7). Dalam
sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti
akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya
untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa
dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan.
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adlah sebagai berikut :
1. harta sebagai amanah (titipan) dari
Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu
mengadakan benda dari tiada.
2. Harta sebagai perhiasan hidup yang
memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak
berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14). Sebagai perhiasan hidup harta sering
menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri.(Al-Alaq:
6-7).
3. Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini
menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai
dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal: 28)
4. harta sebagai bekal ibadah, yakni
untuk melaksankan perintahNyadan melaksanakan muamalah si antara sesama
manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah.(at-Taubah :41,60; Ali
Imran:133-134).
Ketiga, Pemilikan harta dapat dilakukan
melalui usaha (amal) ataua mata pencaharian (Maisyah) yang halal dan
sesuai dengan aturanNya. (al-Baqarah:267)
Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya
yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal
untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah (HR Ahmad).
Mencari rezki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain(HR Thabrani)
jika telah melakukan sholat subuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan sempat mencari rezki (HR Thabrani).
Keempat, dilarang mencari harta ,
berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-Takatsur:1-2), melupakan
Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan sholat dan zakat
(an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya
saja (al-Hasyr: 7)
Kelima: dilarang menempuh usaha yang
haram, seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah: 273-281), perjudian,
jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91), mencuri merampok
(al-Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifin:
1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah:188), dan
melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).
KEPEMILIKAN HARTA
Di atas telah disinggung bahwa Pemilik
Mutlak adalah Allah SWT. Penisbatan kepemilikan kepada Allah mengandung
tujuan sebagai jaminan emosional agar harta diarahkan untuk kepentingan
manusia yang selaras dengan tujuan penciptaan harta itu sendiri.
Namun demikian, Islam mengakui
kepemilikan individu, dengan satu konsep khusus, yakni konsep khilafah.
Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang diberi kekuasaan dalam
mengelola dan memanfaatkan segala isi bumi dengan syarat sesuai dengan
segala aturan dari Pencipta harta itu sendiri.
Harta dinyatakan sebagai milik manusia,
sebagai hasil usahanya. Al-Quran menggunakan istilah al-milku dan
al-kasbu (QS 111:2) untuk menunjukkan kepemilikan individu ini. Dengan
pengakuan hak milik perseorangan ini, Islam juga menjamin keselamatan
harta dan perlindungan harta secara hukum.
Islam juga mengakui kepemilikan bersama
(syrkah) dan kepemilikan negara. Kepemilikan bersama diakui pada
bentuk-bentuk kerjasama antar manusia yang bermanfaat bagi kedua belah
pihak dan atas kerelaan bersama. Kepemilikan Negara diakui pada
asset-asset penting (terutama Sumber Daya Alam) yang pengelolaannya atau
pemanfaatannya dapat mempengaruhi kehidupan bangsa secara keseluruhan.
METODE MEMPEROLEH DAN MEMBELANJAKAN HARTA
Untuk memperoleh harta dapat ditempuh
dengan beberapa cara dengan prinsip sukarela, menarik manfaat dan
menghindarkan mudarat bagi kehidupan manusia, memelihara nilai-nilai
keadilan dan tolong menolong serta dalam batas-batas yang diizinkan
syara(hukum ALLAH)
Di antara cara memperoleh harta dapat disebutkan yang terpenting:
a. Menguasai benda-benda mubah yang belum menjadi milik seorang pun.
b. Perjanjian-perjanjian hak milik seperti jual-beli, hibah (pemberian/.hadiah), dan wasiat
c. Warisan sesuai dengan aturan Islam
d. Syufah, hak membeli dengan paksa atas
harta persekutuan yang dijual kepada orang lain tanpa izin para anggota
persekutuan yang lain.
e. Iqtha, pemberian dari pemerintah
f. Hak-hak keagamaan seperti bagian zakat, bagi amil, nafkah istri, anak, dan orang tua.
Cara memperoleh harta yang dilarang ialah
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, yaitu
memperoleh harta dengan cara-cara yang mengandung unsur paksaan dan
tipuan yang bertentanga dengan prinsip sukarela, seperti merampas harta
orang lain, menjual barang palsu, mengurangi ukuran dan timbangan, dan
sebagainya. Kemudian memperoleh hartanya dengan cara yang justru
mendatangkan mudharat/keburukan dalam kehidupan masyarakat, seperti jual
beli ganja, perjudian, minuman keras, prostitusi,dan lain sebagainya.
Atau memperoleh harta dengan jalan yang bertentangan dengan nilai
keadilan dan tolong menolong, seperti riba, meminta balas jasa tidak
seimbang dengan jasa yang diberikan. Juga menjual barang dengan harga
jauh lebih tinggi dari harga yang sebenarnya, atau bisa dikatakan
mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Mengenai pembelanjaan harta, Islam
mengajarkan agar membelanjakn hartanya mula-mula untuk mencukupkan
kebutuhan dirinya sendiri, lalu untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang
menjadi tanggungannya, barulah memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam
pemenuhan kebutuhan ini, Islam mengharamkan bermegah-megah dan
berlebih-lebihan (Israf dan mubazir). Karena sifat ini cenderung kepada
penumpukan harta yang membekukan fungsi ekonomis dari harta tersebut.
Untuk itulah pada satu takaran tertentu
harta dikenai wajib zakat. Zakat merupakan implementasi pemenuhan hak
masyarakat dan upaya memberdayakan harta pada fungsi ekonomisnya.
Ringkasnya, aturan dalam memperoleh harta dan membelanjakan harta, didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Sirkulasi dan perputaran.
Artinya harta memiliki fungsi ekonomis yang harus senantiasa
diberdayakan agar aktifitas ekonomi berjalan sehat. Maka harta harus
berputar dan bergerak di kalangan masyarakat baik dalam bentuk konsumsi
atau investasi.sarana yang diterapkan oleh syariat untuk merealisasikan
prinsip ini adalah dengan larangan menumpuk harta, monopoli terutama
pada kebutuhan pokok, larangan riba, berjudi, menipu.
2. Prinsip jauhi konflik. Artinya harta
jangan sampai menjadi konflik antar sesama manusia. Untuk itu
diperintahkan aturan dokumentasi, pencatatan/akuntansi, al-isyhad/saksi,
jaminan (rahn/gadai).
3. Prinsip Keadilan. Prinsip keadilan
dimaksudkan untuk meminimalisasi kesenjangan sosial yang ada akibat
perbedaan kepemilikan harta secara individu. Terdapat dua metode untuk
merealisasikan keadilan dalam harta yaitu perintah untuk zakat infak
shadaqah, dan larangan terhadap penghamburan (Israf/mubazir).
Harta Dalam Pandangan Al Qur’an
Harta bukanlah sesuatu yang
buruk dan menjijikkan, tetapi harta adalah sesuatu yang baik (khair) dan
berfungsi sebagai alat yang membantu kehidupan manusia serta merupakan
salah satu karunia Allah yang besar. Harta dipandang buruk dan
menjijikkan apabila praktek perolehan dan pemanfaatan harta
mengakibatkan hancurnya nilai-nilai kehidupan akhirat yang lebih mulia.
Seorang Muslim diperintahkan untuk
mencari nafkah dan menghasilkan harta dengan berjuang sekuat tenaga.
Tangan yang mengucurkan bantuan, dalam pandangan Islam jauh lebih baik
daripada tangan yang menerima kucuran bantuan sebagaimana yang
dikemukakan dalam sebuah hadist Rasulullah SAW “Tangan yang di atas
lebih baik daripada tangan yang di bawah.”.
Status kepemilikan harta menurut Islam dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu:
1. Harta sebagai amanah dari Allah SWT.
Harta merupakan amanah bagi manusia,
karena manusia tidak mampu mengadakan sesuatu benda dari tiada menjadi
ada. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Albert Einstein (seorang ahli
Ilmu Fisika), manusia tidak mampu menciptakan energi; yang mampu manusia
lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain.
Jadi pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.
2. Harta sebagai perhiasan hidup manusia.
Manusia memiliki kecenderungan yang kuat
untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta, namun demikian manusia
harus sadar bahwa harta yang dimilikinya hanyalah merupakan perhiasan
selama ia hidup di dunia. Sebagai perhiasan hidup, harta seringkali
menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggaan diri sebagaimana
yang diungkapkan dalam Surah Al ‘Alaq ayat 6-7.
3. Harta sebagai ujian keimanan.
Dalam memperoleh dan memanfaatka harta,
harus kita perhatikan apakah telah sesuai atau tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Dalam Surah An Anfaal ayat 28 dikemukakan bahwa
sesungguhnya harta dan anak-anak adalah suatu cobaan dari Allah SWT.
4. Harta sebagai bekal ibadah.
Dengan memiliki harta maka kita dapat
melaksanakan perintah Allah SWT dan melaksanakan muamalah di antara
sesama manusia melalui kegiatan zakat, infak dan sedekah sebagaimana
yang dikemukakan dalam Surah At Taubah Ayat 41 & 60 serta Al Imran
Ayat 133-134.
Harta yang kita peroleh wajib melalui
cara halal yang telah diatur secara jelas di berbagai ayat-ayat dalam Al
Qur’an dan Hadist Rasullulah SAW. Demikian pula dalam menggunakan atau
membelanjakan harta harus pula dengan cara yang baik demi memperoleh
ridho Allah SWT serta tercapainya distribusi kekayaan yang adil di
tengah-tengah masyarakat. Penggunaan atau pembelanjaan harta wajib
dibatasi pada sesuatu yang halal dan sesuai Syariah. Dengan demikian,
harta kita jangan sampai digunakan untuk perjudian, membeli minuman
keras dan barang-barang yang diharamkan, membayar perzinahan, atau apa
saja yang dilarang oleh Syariah.
Dalam menggunakan hartanya, seorang
Muslim juga dianjurkan untuk menyimpan atau menginvestasikan hartanya
sesuai dengan petunjuk yang telah digariskan oleh Al Qur’an dan Hadist.
Jika ia menyimpan hartanya, hendaklah ia mengeluarkan zakat dan
kewajiban lain yang berhubungan dengan itu; dan jika ia menginvestasikan
hartanya, maka ia harus memilih bisnis yang halal dan menjauhi bisnis
yang diharamkan serta menghindari transaksi bisnis yang mengandung
“riba”. Seorang Muslim diperintahkan menanamkan modalnya dalam bisnis
yang halal, meskipun mungkin akan menghasilkan keuntungan yang sedikit
jika dibandingkan dengan investasi pada wilayah-wilayah yang haram.
Sistem pendistribusian penggunaan dan
pembelanjaan harta kekayaan dalam Al Qur’an didasarkan pada anjuran
infaq, yang akan memberikan garansi bagi tersebarnya secara meluas
distribusi kekayaan. Sistem ini adalah sebuah antitesa dari
praktek-praktek riba yang mengumpulkan kekayaan pada satu tangan dan
pada saat yang bersamaan terdapat perlakuan eksploitatif terhadap
masyarakat yang kurang mampu. Dua konsep itu, yakni infaq dan riba,
sangat berseberangan secara mendasar, tujuan dan konsekuensinya. Konsep
infaq, yakni membelanjakan harta kekayaannya demi kepentingan orang
lain, sedangkan konsep riba adalah menggerogoti harta kekayaan orang
lain secara tidak adil.
Al Qur’an memberikan kebebasan bagi
pemilik harta untuk menggunakannya demi kepentingan dan kepuasan dirinya
beserta keluarganya sebagaimana yang diungkapkan dalam Surah Ath
Thalaaq ayat 7, dan Al Qur’an juga mencanangkan kewajiban bagi pemilik
harta kekayaan untuk menyisihkan sebagian harta yang dimilikinya bagi
orang-orang yang berhak menerimanya sebagaimana diungkapkan dalam Surah
At Taubah ayat 34-35 & 60.
Seseorang yang membelanjakan harta di
jalan Allah, berarti ia adalah seorang yang telah membangun hubungan
dengan Allah dalam mencari nafkah hidup mereka, dan pahala mereka akan
berlipat ganda. Rasulullah menyatakan bahwa seluruh manusia adalah satu
“keluarga” Allah, dan manusia yang paling dekat kepada Allah adalah
orang yang paling baik terhadap “keluarga” Nya.
Al Qur’an dalam beberapa ayat mengutuk
sifat tamak, kikir, dan penimbunan harta. Tamak dan kikir timbul pada
diri seseorang akibat rasa cinta yang berlebihan pada dunia. Salah satu
penyebab tamak dan kikir adalah “riba”, karena merupakan factor utama
timbulnya konsentrasi kekayaan. Penimbunan harta dan terkonsentrasinya
kekayaan pada segelintir orang dilarang secara tegas dalam Surah Al
Hasyr ayat 7.
Menurut seorang ulama tingkat dunia,
Mufti Muhammad Syafi’, terkonsentrasinya kekayaan pada sekelompok orang
tertentu merupakan sesuatu yang terkutuk dan dosa yang sangat memalukan,
sedangkan eksistensi riba adalah instrumen utama yang melahirkan dan
membuka koridor kejahatan, dan pelarangan riba adalah sebuah garansi
yang akan sanggup menggempur pengkonsentrasian dan penimbunan harta
menuju distribusi kekayaan yang merata.
Alasan lain mengapa penimbunan harta itu
dikutuk adalah karena di samping ia menghambat sirkulasi normal
kekayaan, ia juga merupakan tindakan kejahatan karena menimbulkan
kerugian produksi, konsumsi dan perdagangan, atau dengan kata lain
penimbunan harta akan menghambat jalannya aktivitas perekonomian secara
luas.
Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat
disimpulkan bahwa Al Qur’an telah dengan jelas memberikan gambaran
dalam mengunakan atau membelanjakan harta kekayaan, yakni sebagai
berikut:
1. Menekankan perlunya infaq ;
2. Melarang sikap boros terhadap harta dan menggunakannya dalam hal-hal yang dilarang oleh Syariah;
3. Melarang riba, penimbunan harta, monopoli, kikir, tamak, dan semua bentuk kejahatan dan aktivitas yang tidak adil.
Sebagai seorang yang beriman, marilah
kita mengendalikan diri dengan mengikuti ajaran Al Qur’an dan Hadist
Rasulullah SAW dalam menggunakan dan membelanjakan harta kekayaan dan
menyadari bahwa kita hanyalah seorang pemegang amanah dari harta
kekayaan yang saat ini kita nikmati, karena pemilik absolut dari semua
harta kekayaan tersebut adalah Allah SWT.
Firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan sesungguhnya Dia memberikan kekayaan dan kecukupan.” (QS. 53/ An Najm: 48)
Pengaruh dan Nilai Harta dalam Islam
Pengaruh harta
Pengaruh harta
Pengaruh harta kekayaan terhadap jiwa
seseorang nyata sekali besarnya. Karena memang manusia dari dasar
tabiatnya sangat sangat menyintai harta benda, yang dianggapnya sarana
satu-satunya untuk mencapai kenikmatan dan kesenangan duniawi. Bahkan
cinta kepada harta yang berlebih-lebihan itu sering menjadikan ia buta
dan tuli terhadap ketentuan-ketentuan agama dan batas-batas moral yang
harus ditaatinya dalam membelanjakan harta kekayaan guna mencapai
kesenangan duniawi dan melampiaskan hawa nafsu. Allah berfirman:
“Dan Sesungguhnya Dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.”( Al-Aadiaat 8).
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” ( Al-Fajr 20)
“Dan Jikalau Allah melapangkan rezki
kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka
bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran.”
(AsySyura 27).
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena Dia melihat dirinya serba cukup.” (Al-Alaq 6-7).
Dan jika harta itu adalah juga jalan dan
sarana bagi perbuatan-perbuatan dan tingkah laku yang melampaui
batas-batas perintah Allah maupun batas-batas moral dan akhlak, maka
hendaklah tiap orang mu’min mencegah dirinya agar tidak terbawa oleh
cinta harta yang berlebihan ke jalan yang tersesat di mana batas-batas
perintah Allah dilampaui.
Dan hendaklah ia tidak terlalu bersuka
ria dengan apa yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya dan tidak
pula menyesal atau berduka cita terhadap apa yang hilang atau tidak
dapat dijangkaunya. Dengan mental yang demikian maka sang kaya tidak
akan menjadi bakhil dan si miskin tidak akan berkecil hati dan merendah
diri.
Nilainya harta
Walaupun harta kekayaan
mempunyai nilai materiilnya, namun ia tidak menduduki tempat yang
teratas. Amal yang baik, akhlak yang tinggi, budi pekerti yang luhur dan
perilaku yang sopan santun bernilai jauh lebih tinggi dari nilai harta
benda. Harta benda bukanlah satu-satunya yang mendatangkan kebahagiaan
dan kemuliaan dan juga tidak mendekatkan orang kepada Allah kecuali jika
dibelanjakannya sesuai dengan perintah dan tuntunan-Nya. ada hal-hal
lain, selain harta benda, yang dapat membahagiakan manusia serta
meninggikan derajatnya, yaitu amal yang saleh, taqwa kepada Allah dan
mu’amalah yang bersih dan jujur terhadap sesama manusia. Allah swt.
berfirman:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih
baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
(Al-Kahfi 46).
Maka amalan-amalan yang kekal dan saleh,
itulah yang harus dicari dan dilaksanakan, dan itu adalah dalam
jangkauan orang-orang yang kaya maupun miskin. Pintu-pintunya terbuka
bagi tiap orang yang hendak memasukinya dan jalan-jalannya pun dapat
dilalui oleh tiap orang yang ingin menempuhnya, tiada halangan atau
rintangan untuk mencapainya.
Maka jika orang-orang kaya dapat
mengumpulkan harta-harta dan menghimpun kekayaan materiil, orang-orang
yang tidak punya dapat pula menghimpun kekayaan-kekayaan moril yang
sangat tinggi nilainya, luas pengaruhnya di dunia dan besar pahalanya di
hari kemudian.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari
yang demikian itu?”. untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah),
pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai;
mereka kekal didalamnya. dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang
disucikan serta keridhaan Allah. dan Allah Maha melihat akan
hamba-hamba-Nya. (yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan Kami,
Sesungguhnya Kami telah beriman, Maka ampunilah segala dosa Kami dan
peliharalah Kami dari siksa neraka,” (yaitu) orang-orang yang sabar,
yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah),
dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (Ali-Imran 14-17).
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan
(pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun;
tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka
Itulah yang memperoleh Balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang
telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang
Tinggi (dalam syurga).” (Saba’ 37).
Terbukanya kesempatan bagi orang-orang,
yang kaya maupun yang miskin untuk berprestasi dalam bidang taqwa dan
amal saleh memberi kepuasan jiwa dengan apa yang diperolehnya sebagai
ganti daripada kebendaan yang luput dan tidak terkena olehnya. Dan
dengan demikian tercapailah kekayaan yang sebenarnya, yaitu kekayaan
hati dan jiwa yang dikehendaki oleh agama Islam, sebagaimana sabda
Rasulullah saw.:
ليس الغنى عن كثرة العرض ولكنّ الغنى غنى النّفس
“Bukankah kekayaan itu apa yang berupa benda yang banyak, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah di dalam jiwa dan hati.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar