Share

Halaman

Rabu, 08 Mei 2013

Islamisasi Blambangan: Identitas Agama dalam Percaturan Politik

Fardan Mahmudatul Imamah
MARGANA     Selama ini tesis sejarah yang paling banyak diketahui adalah peran penting Islam Jawa dalam melawan penjajahan Belanda. Tanpa mengabaikan validitas tesis itu, terdapat petunjuk lain yang berbeda—atau bahkan bertentangan—yang ditemukan di Banyuwangi, Jawa Timur, wilayah yang dulu merupakan sebuah kerajaan besar bernama Blambangan. Bukti historis itu menunjukkan bahwa proses islamisasi Jawa ternyata memberi keuntungan bagi kolonial Belanda, sebagai kontra-identitas masyarakat Blambangan yang menganut Hindu. Pada saat itu, agama memiliki peranan penting sebagai kekuatan politik untuk memperebutkan wilayah Blambangan sebagai Java last frontier (ujung perbatasan Jawa). Inilah salah satu pernyataan yang disampaikan Dr. Sri Margana, Dosen Fakultas Sejarah
Universitas Gadjah Mada, pada Wednesday Forum (13/02/2013), di Gedung Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Menurut dosen yang mendapatkan gelar doktornya dari Leiden University, Belanda ini, studi historisnya tentang pendudukan VOC di Blambangan menunjukkan bahwa Islam ternyata memainkan peran sentral dalam ekspansi Belanda di Blambangan. Padahal, pada saat itu, sebagian besar masyarakat Blambangan beragama Hindu yang turut melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Kerajaan Blambangan merupakaan kerajaan Hindu terakhir setelah Majapahir runtuh pada tahun 1530 M. Sebelumnya, Tuban dan Kediri menerima Islam pada 1527 dan Surabaya tiga tahun kemudian. Pada abad ke-16, Sultan Agung sebagai Raja Islam Mataram mempunyai misi besar untuk membentuk dunia Islam di Jawa (the world of Islam in Java), termasuk menguasai wilayah Blambangan. Di tempat lain, dua Kerajaan Hindu Bali, Gelgel dan Mangwi, juga berkepentingan untuk menjaga Blambangan dari ekspansi kerajaan Islam ke Bali.

Pada saat yang sama, VOC berusaha untuk menaklukkan Java’s Oosthoek (ujung timur Jawa) itu dari padang gurun yang penuh dengan pemberontak menjadi perbatasan yang memiliki potensi kemajuan ekonomi. Pihak VOC juga berkepentingan menjaganya dari penguasaan negara kolonial lainnya (Inggris dan Portugis).
Dengan berbekal informan lokal, Belanda memilih untuk tidak menggunakan peperangan menghadapi Kerajaan Blambangan.  Belanda justru menujukkan sikap moderat ‘pro-islam’ dalam upaya mendukung strategi ‘sekutunya’ (baca: kerajaan Islam), seperti sultan, susuhan, pangeran Madura, dan pimpinan muslim di utara Jawa lainnya, dalam upaya penaklukan Blambangan.

Dengan mendukung kerajaan Islam secara politis, VOC berhasil menjadi kekuatan pendorong dalam proses islamisasi masyarakat Blambangan dan secara bersamaan membuat jumlah penganut Hindu-Blambangan mengalami penurunan drastis. Hal itu juga menunjukkan bahwa kerajaan Islam secara tak langsung justru membantu VOC untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonominya di Jawa. Islamisasi Jawa di Blambangan akhirnya membuat masyarakat Hindu tersudut dan berpindah ke Pulau Bali.

Dalam forum kali ini, Endy Saputro, mahasiswa program doktor ICRS UGM yang turut menjadi peserta dalam diskusi tersebut, mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi dalam proses islamisasi di Jawa tersebut. Bagi Endy, sebagaimana narasi sejarah pada umumnya, proses islamisasi tak jarang didasarkan hanya pada golongan elite atau bangsawan kerajaan, tanpa menerangkan lebih banyak proses tersebut di kalangan masyarakat biasa.

Menanggapi pertanyaan itu, Margana menjelaskan bahwa posisi kepemimpinana sangat penting di negara monarki, sehingga identitas baik agama maupun etnis juga akan memengaruhi kehidupan masyarakatnya. Proses islamisasi di kalangan elite terjadi secara simbolik untuk menunjukkan identitas kerajaan Jawa yang Islam, bukan lagi Hindu. Rakyat Blambangan saat itu hanya tahu bahwa Islam adalah agama yang tidak memakan daging babi dan beribadah lima kali sehari, tidak lebih dari itu. Namun, semua ritualnya masih berlangsung, seperti slametan atau memberikan sesajen kepada leluhur. Sayangnya, masyarakat Hindu Blambangan sekarang sudah tidak ada. Mereka berpindah ke Bali atau daerah-daerah terpencil di Jawa. Hanya sebagian kecil yang bertahan, sedangkan masyarakat baru yang berkembang hingga saat ini merupakan pendatang, bersamaan dengan para pemuka agama yang berasal dari Banten, Tasikmalaya, dan Kediri.

Menurut Margana, apa yang terjadi pada masyarakat Blambangan abad 16 hingga 18 saat itu dapat dilihat perkembangan lanjutannya pada masyarakat Hindu Bali abad 20.  Sebagian orang berpikir bahwa Jawa dipengaruhi oleh Bali, padahal yang terjadi adalah sebaliknya; Bali dipengaruhi oleh Jawa. Belanda mempunyai agenda yang sangkat kuat, untuk membentuk semacam laboratorium hidup di Bali, yakni komunitas Hindu yang bebas dari pengaruh Islam. Hindu Bali memiliki budaya yang sangat ketat, termasuk tradisi sati (tradisi membakar diri bagi janda ketika suaminya meninggal), yang tidak ditemukan di seluruh kitab dari tradisi Majapahit sekalipun. Uniknya, tradisi sati justru ditemukan di Kerajaan Blambangan. Pada saat mangkatnya Tawang Alun II, tercatat sebanyak 270 istri, dari total 400 istri yang dinikahi, ikut membakar diri.

Diskusi semakin menarik ketika Margana mengungkapkan bagaimana ajaran Hindu yang berkembang di Blambangan mempunyai kemiripan dengan ajaran Hindu yang ada di Kabupaten Karanganyar. Prediksi tersebut diperoleh dari kesamaan struktur bangunan candi yang berbentuk piramid, antara Candi Macan Putih di Desa Macan Putih, Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dengan Candi Sukuh di Dusun Berjo, Desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Keduanya memiliki dua konstruksi yang mirip, berupa undak berbentuk trapesium, berbeda dengan bentuk candi-candi lainnya di Jawa, yang lebih mirip gunung, atau dikenal dengan meru. Saat ini, Candi Macan Putih hanya tersisa situsnya, sedangkan candinya sudah tidak ada lagi. Desa Macan Putih merupakan Ibukota Blambangan di bawah pimpinan Tawang Alun (1655-1691), saat periode tersebut Blambangan mencapai masa kejayaannya. “Saya tertarik untuk mempelajari kemiripan bentuk Candi Macan Putih dan Candi Sukuh tersebut. Saya pikir keduanya memiliki kesamaan dalam ajaran Hindu,” tutur Margana.

Belanda dikenal memiliki pemerintahan yang terstruktur dan strategi negosiasi yang baik untuk menetapkan suatu kebijakan pada daerah jajahannya. Setiap kantor VOC di beberapa kota, seperti di Batavia, Surabaya, dan Banyuwangi saling berhubungan satu sama lain untuk bertindak di bawah keputusan Gubernur Jenderal, yang juga harus menunggu kebijakan yang turun dari Pemerintahan Pusat di Belanda. Masalahnya adalah komunikasi yang dulunya dilakukan secara tradisional (dengan hanya melalui surat dan kapal) tak jarang terkendala oleh kondisi di mana kebijakan tersebut baru datang setelah kondisi di daerah jajahan sudah berubah. Itulah salah satu alasan mengapa VOC Surabaya memilih untuk mendukung proses islamisasi sebagai cara kontrol politik wilayah Blambangan.

“Namun demikian, Belanda harus menghabiskan banyak sekali uang untuk ekspansi ke wilayah Blambangan. Bahkan, Belanda juga harus menghabiskan waktu yang lebih lama di Blambangan daripada daerah-daerah lain di Jawa,” kata Margono di akhir presentasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar