Fardan Mahmudatul Imamah
Selama ini tesis sejarah yang paling banyak diketahui adalah peran
penting Islam Jawa dalam melawan penjajahan Belanda. Tanpa mengabaikan
validitas tesis itu, terdapat petunjuk lain yang berbeda—atau bahkan
bertentangan—yang ditemukan di Banyuwangi, Jawa Timur, wilayah yang dulu
merupakan sebuah kerajaan besar bernama Blambangan. Bukti historis itu
menunjukkan bahwa proses islamisasi Jawa ternyata memberi keuntungan
bagi kolonial Belanda, sebagai kontra-identitas masyarakat Blambangan
yang menganut Hindu. Pada saat itu, agama memiliki peranan penting
sebagai kekuatan politik untuk memperebutkan wilayah Blambangan sebagai Java last frontier (ujung
perbatasan Jawa). Inilah salah satu pernyataan yang disampaikan Dr. Sri
Margana, Dosen Fakultas Sejarah
Universitas Gadjah Mada, pada Wednesday Forum (13/02/2013), di Gedung Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Menurut dosen yang mendapatkan gelar doktornya dari Leiden
University, Belanda ini, studi historisnya tentang pendudukan VOC di
Blambangan menunjukkan bahwa Islam ternyata memainkan peran sentral
dalam ekspansi Belanda di Blambangan. Padahal, pada saat itu, sebagian
besar masyarakat Blambangan beragama Hindu yang turut melakukan
perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Kerajaan Blambangan merupakaan kerajaan Hindu terakhir setelah
Majapahir runtuh pada tahun 1530 M. Sebelumnya, Tuban dan Kediri
menerima Islam pada 1527 dan Surabaya tiga tahun kemudian. Pada abad
ke-16, Sultan Agung sebagai Raja Islam Mataram mempunyai misi besar
untuk membentuk dunia Islam di Jawa (the world of Islam in Java),
termasuk menguasai wilayah Blambangan. Di tempat lain, dua Kerajaan
Hindu Bali, Gelgel dan Mangwi, juga berkepentingan untuk menjaga
Blambangan dari ekspansi kerajaan Islam ke Bali.
Pada saat yang sama, VOC berusaha untuk menaklukkan Java’s Oosthoek (ujung
timur Jawa) itu dari padang gurun yang penuh dengan pemberontak menjadi
perbatasan yang memiliki potensi kemajuan ekonomi. Pihak VOC juga
berkepentingan menjaganya dari penguasaan negara kolonial lainnya
(Inggris dan Portugis).
Dengan berbekal informan lokal, Belanda memilih untuk tidak
menggunakan peperangan menghadapi Kerajaan Blambangan. Belanda justru
menujukkan sikap moderat ‘pro-islam’ dalam upaya mendukung strategi
‘sekutunya’ (baca: kerajaan Islam), seperti sultan, susuhan, pangeran
Madura, dan pimpinan muslim di utara Jawa lainnya, dalam upaya
penaklukan Blambangan.
Dengan mendukung kerajaan Islam secara politis, VOC berhasil menjadi
kekuatan pendorong dalam proses islamisasi masyarakat Blambangan dan
secara bersamaan membuat jumlah penganut Hindu-Blambangan mengalami
penurunan drastis. Hal itu juga menunjukkan bahwa kerajaan Islam secara
tak langsung justru membantu VOC untuk mengamankan kepentingan politik
dan ekonominya di Jawa. Islamisasi Jawa di Blambangan akhirnya membuat
masyarakat Hindu tersudut dan berpindah ke Pulau Bali.
Dalam forum kali ini, Endy Saputro, mahasiswa program doktor ICRS UGM
yang turut menjadi peserta dalam diskusi tersebut, mempertanyakan apa
yang sebenarnya terjadi dalam proses islamisasi di Jawa tersebut. Bagi
Endy, sebagaimana narasi sejarah pada umumnya, proses islamisasi tak
jarang didasarkan hanya pada golongan elite atau bangsawan kerajaan,
tanpa menerangkan lebih banyak proses tersebut di kalangan masyarakat
biasa.
Menanggapi pertanyaan itu, Margana menjelaskan bahwa posisi
kepemimpinana sangat penting di negara monarki, sehingga identitas baik
agama maupun etnis juga akan memengaruhi kehidupan masyarakatnya. Proses
islamisasi di kalangan elite terjadi secara simbolik untuk menunjukkan
identitas kerajaan Jawa yang Islam, bukan lagi Hindu. Rakyat Blambangan
saat itu hanya tahu bahwa Islam adalah agama yang tidak memakan daging
babi dan beribadah lima kali sehari, tidak lebih dari itu. Namun, semua
ritualnya masih berlangsung, seperti slametan atau memberikan
sesajen kepada leluhur. Sayangnya, masyarakat Hindu Blambangan sekarang
sudah tidak ada. Mereka berpindah ke Bali atau daerah-daerah terpencil
di Jawa. Hanya sebagian kecil yang bertahan, sedangkan masyarakat baru
yang berkembang hingga saat ini merupakan pendatang, bersamaan dengan
para pemuka agama yang berasal dari Banten, Tasikmalaya, dan Kediri.
Menurut Margana, apa yang terjadi pada masyarakat Blambangan abad 16
hingga 18 saat itu dapat dilihat perkembangan lanjutannya pada
masyarakat Hindu Bali abad 20. Sebagian orang berpikir bahwa Jawa
dipengaruhi oleh Bali, padahal yang terjadi adalah sebaliknya; Bali
dipengaruhi oleh Jawa. Belanda mempunyai agenda yang sangkat kuat, untuk
membentuk semacam laboratorium hidup di Bali, yakni komunitas Hindu
yang bebas dari pengaruh Islam. Hindu Bali memiliki budaya yang sangat
ketat, termasuk tradisi sati (tradisi membakar diri bagi janda
ketika suaminya meninggal), yang tidak ditemukan di seluruh kitab dari
tradisi Majapahit sekalipun. Uniknya, tradisi sati justru
ditemukan di Kerajaan Blambangan. Pada saat mangkatnya Tawang Alun II,
tercatat sebanyak 270 istri, dari total 400 istri yang dinikahi, ikut
membakar diri.
Diskusi semakin menarik ketika Margana mengungkapkan bagaimana ajaran
Hindu yang berkembang di Blambangan mempunyai kemiripan dengan ajaran
Hindu yang ada di Kabupaten Karanganyar. Prediksi tersebut diperoleh
dari kesamaan struktur bangunan candi yang berbentuk piramid, antara
Candi Macan Putih di Desa Macan Putih, Kecamatan Kabat, Kabupaten
Banyuwangi, Jawa Timur dengan Candi Sukuh di Dusun Berjo, Desa Sukuh,
Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Keduanya
memiliki dua konstruksi yang mirip, berupa undak berbentuk trapesium,
berbeda dengan bentuk candi-candi lainnya di Jawa, yang lebih mirip
gunung, atau dikenal dengan meru. Saat ini, Candi Macan Putih
hanya tersisa situsnya, sedangkan candinya sudah tidak ada lagi. Desa
Macan Putih merupakan Ibukota Blambangan di bawah pimpinan Tawang Alun
(1655-1691), saat periode tersebut Blambangan mencapai masa kejayaannya.
“Saya tertarik untuk mempelajari kemiripan bentuk Candi Macan Putih dan
Candi Sukuh tersebut. Saya pikir keduanya memiliki kesamaan dalam
ajaran Hindu,” tutur Margana.
Belanda dikenal memiliki pemerintahan yang terstruktur dan strategi
negosiasi yang baik untuk menetapkan suatu kebijakan pada daerah
jajahannya. Setiap kantor VOC di beberapa kota, seperti di Batavia,
Surabaya, dan Banyuwangi saling berhubungan satu sama lain untuk
bertindak di bawah keputusan Gubernur Jenderal, yang juga harus menunggu
kebijakan yang turun dari Pemerintahan Pusat di Belanda. Masalahnya
adalah komunikasi yang dulunya dilakukan secara tradisional (dengan
hanya melalui surat dan kapal) tak jarang terkendala oleh kondisi di
mana kebijakan tersebut baru datang setelah kondisi di daerah jajahan
sudah berubah. Itulah salah satu alasan mengapa VOC Surabaya memilih
untuk mendukung proses islamisasi sebagai cara kontrol politik wilayah
Blambangan.
“Namun demikian, Belanda harus menghabiskan banyak sekali uang untuk
ekspansi ke wilayah Blambangan. Bahkan, Belanda juga harus menghabiskan
waktu yang lebih lama di Blambangan daripada daerah-daerah lain di
Jawa,” kata Margono di akhir presentasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar