Share

Halaman

Kamis, 16 Mei 2013

Menjadi Sarjana Tukang



Akhirnya tamat juga baca buku catatan harian Ahmad Wahib, “Pergolakan Pemikiran Islam” yang disunting Djohan Effendi. Pada halaman menjelang akhir banyak ungkapan puitis. Keadaannya dan kegelisahannya sama sepertiku. Di bagian tengah-tengah halaman banyak berbicara soal intelektualisme. Cita-citanya ingin menjadi seorang pemikir, namun kecelakaan merenggutnya. Ia mampu mensistematiskan pemikiran-pemikirannya ketika menjelang usia kepala tiga. Pada masa-masa awal, dia terkelit dengan masalah cinta, seperti yang kualami sekarang ini.

Aku belum bisa lepas dari masalah yang satu ini, yaitu cinta yang tak terkatakan. Aku yang terkulai begitu mengharapkan seseorang datang di sampingku. Namun aku hanya sendiri saja. Ada saatnya seseorang datang menghampiriku mengharap cintaku, semoga. Hari-hariku inginnya berkonsentrasi pada peningkatan intelektualitas. Aku ingin serba ingin tahu. Aku tak ingin membunuhnya. Meski harus mengorbankan segalanya. Rasa lapar dan dahaga.
Seorang intelektual harus punya kemampuan akademis, emosi kreatif, dan watak pengabdi untuk menjadi orang berguna. Aku yang sekarang kuliah di MKS, Manajemen Keuangan Syariah. Apakah aku kuliah hanya mengejar titel, sekedar menjadi manusia tukang. Sarjana Tukang? Aku ingin menjadi manusia hidup, yang memiliki sikap, berani menentukan mana pilihan yang terbaik, dan berani bertanggung jawab atas pilihannya
Soe Hok Gie bilang manusia-manusia baru. Aku tak boleh menjadi pembeo. Aku harus menjadi diri sendiri dengan segala pemikiran uniknya. Apakah yang sekarang aku tidak ikut terlibat dengan organisasi gerakan mahasiswa disebut opportunis. Bukankah mahasiswa harus memperjuangkan idealismenya dan menjadi pengusung perubahan masyarakatnya. Aku tidak menjadi aktivis gerakan bukan berarti aku lari dari kumpulan atau jemaah. Aku hanya sendiri saja, menari dan merenungi lingkungan dengan caraku sendiri. Aku tak ingin tertekan. Berbuat hanya membeo.
Aku ingin sadar ketika aku berbuat. Karena banyak yang tidak tahu, aku banyak membaca. Tapi Wahib bilang bahwa membaca tanpa diiringi merenung dan observasi hanya menjadi reservier ilmu. Memang benar. Ketiganya tak bisa dipisahkan.
Melalui berbagai macam buku aku bisa berkomunikasi dengan orang seabad dan bahkan dengan manusia yang hidup berabad-abad sebelumku. Aku banyak yang tidak tahunya. Aku bodoh, makanya masa depanku tak bisa diprediksikan. Aku hanya bisa mengharap pada Tuhan. Sahabat dan adikku bilang padaku bahwa diri sendirilah yang bisa menentukan masa depanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar